Coba inget waktu kalian kecil. Kalian gambar di tembok, dimarahin. Kalian loncat di sofa, dimarahin. Kalian teriak tanpa alasan, dimarahin lagi.
Tapi saat itu kalian bahagia.
Kenapa? Karena kalian nurut sama diri sendiri. Bukan sama standar orang lain. Bukan sama ekspektasi masyarakat.
Lalu kalian tumbuh dewasa.
Mulailah fase aneh ini. Kalian beli barang yang sebenarnya gak kalian butuhin. Kalian kejar jabatan yang sebenarnya gak kalian mau. Kalian pelihara citra yang sebenarnya bukan diri kalian.
Terus bilang sedang mencari kebahagiaan.
Padahal yang kalian cari itu bukan kebahagiaan. Itu validasi. Itu pengakuan. Itu ilusi yang dijual sama iklan, media sosial, dan orang orang di sekitar kalian.
Kebahagiaan sejati itu simpel.
Muncul waktu kalian berhenti berakting. Waktu kalian pulang ke rumah, dan jadi diri sendiri tanpa perlu mikir "apa kata orang".
Psikolog Mihaly Csikszentmihalyi punya istilah "flow". Kondisi dimana kalian begitu tenggelam dalam aktivitas sampai lupa waktu. Itu salah satu bentuk kebahagiaan murni.
Dan flow itu datang waktu kalian nurut sama naluri, bukan nurut sama daftar resolusi tahun baru.
Masalahnya, sejak kecil kita diajarkan mengubur naluri. Digantiin sama aturan. Sama seharusnya. Sama normalnya begini.
Anak suka gambar? Jangan, nanti gak bisa cari duit. Anak suka main musik? Jangan, itu hobi doang. Anak suka nulis cerita? Jangan, kerjaannya gak jelas.
Lama lama, kita lupa siapa kita sebenarnya.
Terus heran kenapa rasanya hambar.
Kebahagiaan itu bukan tujuan. Ini produk sampingan. Muncul waktu kalian hidup selaras sama diri sendiri. Waktu pekerjaan kalian sesuai nilai kalian. Waktu lingkaran sosial kalian gak menguras energi.
Waktu kalian berhenti berpura pura.
Jadi kalau kalian nanya apa itu kebahagiaan, jawabannya ada di pertanyaan lain: siapa kalian sebelum dunia bilang kalian harus jadi siapa?
Temuin dia. Hidup sebagai dia.
Sisanya cuma noise.

No comments
Post a Comment
Punya pertanyaan, saran, atau kritik seputar topik ini? Yuk, tulis di kolom komentar, aku tunggu tanggapanmu!