Home budaya / masalah sosial / psikologi / Psikologi Kehidupan Sehari -hari / wanita

recalmaru - Setiap orang pasti pernah merasa lelah secara emosional setelah bertemu atau berinteraksi dengan seseorang.

Bukan karena orang tersebut sedang mengalami hari yang buruk atau menghadapi masalah besar, tetapi karena sifat dan sikapnya yang secara konsisten membuat orang lain merasa terkuras secara mental dan emosional.

Psikologi telah lama meneliti dinamika hubungan antarpribadi dan menemukan bahwa sifat tertentu bisa membuat seseorang sulit untuk didekati atau diajak bergaul. Tidak terkecuali wanita, yang meskipun memiliki banyak kekuatan emosional dan empati tinggi, bisa saja memiliki sisi-sisi yang membuat hubungan sosial menjadi rumit.

Dilansir dari laman Blog Herald pada 5 Juni 2025. Artikel ini tidak bermaksud menyalahkan satu gender, melainkan bertujuan untuk memberikan refleksi psikologis—baik bagi wanita maupun orang di sekitarnya—agar dapat membangun hubungan yang lebih sehat. Mari kita telaah bersama delapan sifat wanita yang membuatnya sulit diajak bergaul, menurut psikologi.

1. Kebiasaan Negatif yang Sering Terjadi

Energi negatif menular, dan itu bukan mitos.

Setiap orang berhak mengungkapkan rasa sedih atau kecewa. Namun ketika seseorang terus-menerus memandang hidup dari sisi gelap, hal ini bisa menimbulkan kelelahan emosional bagi orang-orang di sekitarnya. Wanita dengan kecenderungan negatif konstan biasanya akan menemukan alasan untuk mengeluh, meremehkan, atau merasa bahwa segala sesuatu tidak pernah cukup baik.

According to psychologist Martin Seligman, a key figure in positive psychology, individuals who focus on problems without ever seeking solutions tend to drag others into an exhausting emotional spiral. This not only ruins the atmosphere but also shapes unhealthy relationship patterns.

Dampaknya:

Lingkungan sosial menjadi tidak nyaman.

Orang-orang mulai menjauh secara perlahan.

Percakapan itu terasa berat dan tidak memberikan energi positif.

Solusinya: Mengembangkan rasa syukur dan kemampuan untuk melihat sisi baik dari sebuah situasi bisa menjadi langkah awal menuju perubahan.

2. Selalu menjadikan segalanya tentang diri sendiri

Empati mati saat ego mengambil alih panggung.

Psikologi menyebut sifat ini sebagai self-centeredness. Seseorang yang memiliki kecenderungan ini akan terus memutar balik pembicaraan agar kembali membahas tentang dirinya, tanpa benar-benar peduli terhadap apa yang sedang dirasakan atau disampaikan orang lain.

Ketika hal ini dilakukan secara konsisten, hubungan sosial menjadi timpang. Orang di sekelilingnya akan merasa tidak terlihat, tidak dihargai, bahkan merasa dimanfaatkan.

Mengapa ini terjadi?

Psikolog Carl Rogers mengatakan bahwa kebutuhan untuk dimengerti adalah kebutuhan mendasar manusia. Sayangnya, orang yang selalu memusatkan pembicaraan pada dirinya sendiri sering kali tidak memberikan ruang bagi orang lain untuk merasakan hal yang sama.

Solusinya: Praktik mendengarkan aktif, di mana seseorang menahan keinginan untuk merespons dengan cerita pribadi dan benar-benar menyimak perasaan lawan bicara, dapat membantu membangun empati yang lebih baik.

3. Memposisikan Diri Sebagai Korban

Ada perbedaan antara mengalami kesulitan dan menjadikan diri sebagai martir abadi.

Salah satu pola perilaku yang sering luput disadari adalah victim mentality. Ini adalah kecenderungan untuk merasa bahwa semua masalah datang dari luar diri dan tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengubah keadaan.

Women with this mindset tend to avoid responsibility and always feel treated unfairly. They also often reject suggestions or solutions because essentially, they do not want to solve problems—they just want to gain sympathy.

Dampak psikologis pada orang lain:

Rasa frustasi karena nasihat tidak dihirup.

Merasa terkuras karena selalu menjadi tempat curhat tanpa arah.

Hubungan menjadi stagnan dan berat.

Solusinya: Refleksi diri dan terapi bisa menjadi cara untuk mengenali pola pikir ini dan mengubahnya menjadi growth mindset yang lebih sehat.

4. Tidak Pernah Mau Meminta Maaf

Tidak semua kesalahan fatal, tapi menolak meminta maaf bisa mematikan hubungan.

Permintaan maaf bukan hanya sekadar ucapan. Ini adalah pengakuan bahwa seseorang menyadari telah menyakiti perasaan orang lain dan bersedia memperbaikinya. Namun, wanita yang tidak pernah mau meminta maaf cenderung membalikkan fakta, membuat orang lain merasa bersalah, atau bahkan bertindak seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Menurut Dr. Harriet Lerner, penulis Why Won’t You Apologize?, permintaan maaf yang tulus merupakan bentuk keberanian emosional dan penghargaan terhadap relasi interpersonal.

Sebagai hasil jika ini tidak dilakukan:

Konflik kecil menjadi luka permanen.

Kepercayaan mudah hilang.

Orang lain merasa tidak dihargai atau dimanipulasi.

Solusinya: Belajar untuk meminta maaf dengan jujur dan tanpa pembelaan diri akan membangun jembatan kepercayaan dalam hubungan sosial.

5. Terlalu Baik Secara Berlebihan

Kebaikan yang tidak mempunyai batas bukanlah kebaikan—itu pengabaian terhadap diri sendiri.

Mungkin terdengar aneh bahwa ‘terlalu baik’ justru bisa menjadi masalah, namun psikologi menunjukkan bahwa orang yang selalu ingin menyenangkan orang lain dan tidak pernah bisa berkata “tidak” sering kali menjadi beban dalam hubungan.

Women like this tend to sacrifice themselves to please everyone, which ultimately creates relationships that are dishonest and full of hidden pressure.

Ciri-cirinya:

Never convey discomfort.

Menghindari konflik secara ekstrem.

Cenderung pasif-agresif saat merasa dimanfaatkan.

Dampak terhadap orang-orang di sekitarnya:

Merasa bersalah saat meminta bantuan.

Kebingungan tentang batas-batas hubungan.

Kehilangan kepercayaan karena merasa hubungan tidak otentik.

Solusinya: Menetapkan batasan sehat bukanlah tindakan egois, melainkan bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.

6. Selalu Mencari atau Menciptakan Drama

“Ketika kedamaian terasa membosankan, konflik menjadi hiburan.”

Some people feel comfortable in chaos. They create conflicts, spread gossip, or exaggerate minor issues to gain attention or control. Women with this tendency can make the social environment unstable and tense.

Mengapa mereka melakukan ini?

Menurut psikolog Carl Jung, orang yang selalu mencari konflik sering kali sedang berusaha menghindari kekacauan dalam dirinya sendiri. Mereka menggunakan dunia luar untuk memvalidasi perasaan batin yang belum terselesaikan.

Risikonya:

Orang lain merasa waspada dan tidak aman.

There is no sense of trust.

Lingkungan sosial penuh ketegangan.

Solusinya: Terapi introspektif dan latihan mindfulness dapat membantu mengidentifikasi akar dari kebutuhan akan konflik dan menggantinya dengan cara komunikasi yang sehat.

7. Selalu Ingin Menjadi yang Paling Tepat

Keinginan untuk menang dalam percakapan hanya akan menciptakan kekalahan dalam hubungan.

Women who always want to be right in everything, from important matters to trivial ones, indicate a dominating ego. They struggle to accept other people's viewpoints and often view differing opinions as a threat rather than an opportunity to learn.

Ciri khasnya:

Sering memotong pembicaraan.

Menolak pendapat yang berbeda.

Menggunakan data atau argumen hanya untuk menegaskan keunggulannya.

Psikolog Adam Grant menyatakan bahwa pembelajar sejati adalah mereka yang terbuka terhadap perubahan pandangan. Sayangnya, mereka yang selalu ingin benar sering kali menolak pertumbuhan pribadi karena terjebak dalam keinginan untuk mendominasi.

Dampak dalam hubungan:

Percakapan sudah tidak lagi menyenangkan.

Orang lain merasa tidak didengarkan.

Hubungan yang kehilangan kedalaman dan keintiman emosional.

Solusinya: Mengembangkan rasa ingin tahu dan kerendahan hati dalam diskusi akan membuka ruang untuk koneksi yang lebih dalam dan otentik.

8. Menguras Energi Tanpa Memberikan Dampak Balik

Hubungan adalah jalan dua arah, bukan jalan satu arah dengan beban berat.

Sifat ini mirip dengan emotional leeching—di mana seseorang terus-menerus membutuhkan perhatian, waktu, dan dukungan tanpa memberikan hal yang sama saat orang lain membutuhkan. Wanita dengan sifat ini cenderung menjadikan orang lain sebagai penopang emosional mereka, tanpa menyadari bahwa hubungan harus timbal balik.

Tanda-tandanya:

Terus menceritakan masalahnya, tapi tidak pernah membalas dengan pertanyaan.

Tidak hadir saat dibutuhkan.

Menghilang ketika tidak ada manfaat untuk mereka.

Karena Anda merasa dimanfaatkan. Setiap pertemuan bukanlah interaksi, melainkan sesi konseling sepihak yang merampas energi emosional Anda.

Solusinya: Tetapkan batas waktu dan energi yang Anda curahkan. Jangan ragu untuk berkata, “Saya tidak bisa membantu saat ini.”

Tidak ada manusia yang sempurna. Kita semua memiliki sifat-sifat yang bisa membuat hubungan menjadi lebih sulit dari waktu ke waktu. Namun, hal terpenting adalah kesediaan untuk bercermin, berubah, dan tumbuh.

Jika Anda merasa memiliki salah satu dari delapan sifat di atas, jangan terburu menyalahkan diri. Psikologi bukan tentang menghakimi, melainkan membantu kita memahami dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Dan jika Anda berada di dekat seseorang yang memiliki sifat-sifat tersebut, jangan takut menetapkan batas. Karena menjaga kesehatan mental Anda sama pentingnya dengan menjaga hubungan sosial.

Hubungan yang sehat dibangun atas dasar saling menghormati, kejujuran, dan energi yang seimbang. Bukan hanya tentang memberi—tapi juga menerima, mendengarkan, dan bertumbuh bersama.

Baca juga :

No comments

Post a Comment

Punya pertanyaan, saran, atau kritik seputar topik ini? Yuk, tulis di kolom komentar, aku tunggu tanggapanmu!

to Top