Home Diriku


Kita sudah bahagia hari ini?


Hidup adalah proses panjang yang kita jalani selama kita masih bernafas didunia ini. Bagaimana secara pribadi kita menjalaninya dengan perasaan:  sudah bahagia, sedang bahagia, telah bahagia, pura-pura bahagia, terpaksa bahagia, hingga ada yang merasa bahagianya sudah berlalu pada masa lalu. Semua hal tersebut merupakan persoalan diri masih-masing individu manusia.

Walau demikian, nampaknya banyak dari kita lebih memandang bahagia itu berdasarkan dari apa yang tampak dan didapat oleh orang lain.
“ Rumput Tetangga terlihat lebih hijau “
Contohnya tetangga, punya harta bergelimang, warisan, rumah mewah, punya jabatan, dan banyak anak. Memang nampak bahagia, tapi apakah mungkin kita perlu memaksakan diri hingga encok tulang ini untuk sama dengan tetangga tersebut?


Contoh lainnya tentang pemilik rumah makan yang sedang bahagia. Bagaimana tidak, kita menilainya melihat dari pengunjungnya yang ramai, letaknya strategis di keramaian, makanannya enak, pekerjaanya banyak, dan anak-anaknya sudah sekolah di perguruan tinggi. Memang nampak bahagia, tapi apakah mungkin kita perlu memaksakan diri hingga encok tulang ini untuk  ikut-ikutan buka rumah makan?

Dari sini, berarti bahagia tidak tentang orang lain, tidak tentang apa yang dimiliki orang lain lalu kita harus dapat juga, dan tidak tentang apa yang kita lihat terhadap orang lain bukan? Tentu saja.

Begitupun dengan orang lain. Kadang, orang lain menebak diri kita saat ini sedang bahagia karena suatu keberhasilan yang kita dapatkan lebih dulu.

Tapi kemudian kita bertanya-tanya, apakah orang itu berusaha menguatkan hatinya dan memberikan kita apresiasi, atau hanya dalih dari kekecewaan mereka? Oalah, mengusik dasar penyematan bahagia dari orang lain lagi kan!



Bahagia dan Penderitaan Orang Lain


Bagaimana dengan bahagia di atas penderitaan orang lain?


Kasus 1:

Ada orang yang sangat bahagia ketika bertemu dan bersalaman dengan presiden. Bahkan, kebahagiaan itu bisa bertambah jika presiden mau sedikit meluangkan waktu untuk bercengkramah dengannya.


Kasus 2:

Ada orang yang tampak bahagia ketika didatangi oleh presiden hingga senyumnya melebar dan merona. Namun, setelah presiden bergegas pergi dan menjauh dari rakyat walau cuma 5 meter saja, ia sudah mengumpat ini menghina itu, mencari kesalahan ini dan itu, serta ungkit-ungkit tentang masa lalu yang lebih bahagia.

Dari kasus 1, kebahagiaan itu dekat dengan kekaguman. Mungkin ada kesan yang tertinggal, atau ada jasa-jasa yang membekas. Namun agaknya bahagia seperti ini malah terlalu sederhana. Jika tidak kenal, tidak berjasa, dan tidak kagum, bahagia tidak akan bertamu.



Dari kasus 2, terlihat bahwa kebijakan yang kurang adil akan merenggut sebuah kebahagiaan. Bisa jadi pihak atas bahagia, tapi pihak bawah menderita. Artinya, ada kesalahan tentang cara membahagiakan. Entah itu sudut pandangnya, pengaruh nafsu, atau motif-motif tertentu.

Tapi jika kita sudah mendapatkan bahagia dengan cara-cara yang baik dan benar, harusnya orang lain tidak kecewa dan menderita bukan? Kembali lagi bahwa bahagia ini tentang diri kita.

Lalu, standarnya Apa?

Menilik dari KBBI, maka standar bahagia adalah terbebas dari segala yang menyusahkan. Artinya, untuk mendapatkan kebahagiaan harus ada usaha susah payah.


Entah itu soal bekerja lembur lalu dapat gaji tambahan, belajar giat untuk lulus tes kerja, ataupun cari perhatian agar tidak diputuskan pacar. Uppss

Setelah kesulitan dan kesusahan ada kebahagiaan, tidak bisa dipungkiri. Walaupun cara untuk menyelesaikan kesulitan itu buruk, tetap ada kebahagiaan. Namun, perspektif kebahagiaan itu jadi jelek dan ternodai dengan keburukan.

Beda dengan KBBI, bagi orang-orang tasawuf standar bahagia adalah makrifat. Artinya, bahagia itu apabila seseorang sudah merasa dirinya dekat dengan Tuhan dan telah mengenal Tuhan. Sungguh metafisika, yang semakin menguatkan paradigma bahwa bahagia itu benar-benar niskala.

Atas dasar ini, bisa saja seseorang yang sudah makrifat menganggap semua kesusahan dalam hidupnya sebagai bentuk kebahagiaan yang benar-benar bahagia.

Kemudian, dunia ditinggalkan dan ia lebih fokus untuk dekat dengan Tuhan. Hmm, semakin ke sini semakin terang bahwa kebahagiaan itu bukan tentang orang lain.

Sudah dua standardisasi belum ada pembicaraan tentang uang dan kekayaan? Lalu bahagia kita hari ini tentang apa? Apa tentang uang dan kaya? Sejatinya bahagia tidak melulu tentang uang. Upss, tapi sebelum bicara ini kita harus punya uang dulu kan! Hohoho.

Baiklah, sebagai penutup penulis ingin memberikan standardisasi terbaik tentang kebahagiaan. Kita berangkat dari perkataan Nabi:


"Yang namanya kaya (ghina') bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina' adalah hati yang selalu merasa cukup." (HR. Bukhari dan Muslim) 



Makna tersiratnya adalah buatlah bahagiamu sendiri. Caranya? Senantiasa melembutkan hati dengan syukur atas segala nikmat yang didapatkan. Artinya, standar bahagia itu selalu merasa cukup. Cukup bukan berkisah tentang membatasi usaha diri melainkan menghargai apapun hasil usaha.

Karena sejatinya nikmat dan kebahagiaan setiap orang sudah dicukupkan sesuai dengan kebutuhannya. Lihat saja berapa banyak pedagang buah dipasar. Rasanya sangat banyak deretan penjual buah di sudut-sudut pasar. Hebatnya, mereka saling bersebelahan dalam berjualan.

Jika dari sini kita langsung mengukur kebahagiaan mereka dengan bertanya "bagaimana mereka bisa dapat untung jika jualan bersebelahan, jualan buah semua pula!", maka tidak akan ketemu kebahagiaan itu.

Realitanya, mereka tetap berjualan buah, tetap hidup dan melanjutkan hidupnya, serta tetap mengalir rezekinya. Bahkan, jika ada kejujuran dan berjuta kebaikan maka semakin bertambahlah kebahagiaan mereka. Mulai dari disenangi pembeli, pelanggan tambah banyak, dan penjual buah di sebelah pun ikut bahagia.

Seperti itu pula dengan kebahagiaan-kebahagiaan dari profesi lainnya. Ada tetangga punya mobil dua misalnya, wajar Tuhan berikan kebahagiaan dengan kecukupan seperti itu. Mungkin jika Si tetangga hanya punya mobil satu kerjanya akan terhambat, dan kehidupannya malah terganggu.

Ending-nya, nikmat masing-masing kita sudah tercukupkan oleh Tuhan dan kadarnya berbeda-beda antara orang yang satu dan lainnya. Ingin meminta lebih? Syukuri dulu bahwa ini cukup, kemudian barulah tambahkan ikhtiar.

Jadi sebenarnya apa itu  Bahagia ? Bahagia adalah ketika kita bisa mensyukuri segala nikmat-nikmat yang setiap hari, setiap detik kita rasakan dan kita lalui, yang mungkin tanpa kita sadari nikmat nikmat itu adalah kebahagiaan yang sesungguhnya.


Masih diberi anugrah hidup dan panjang umur itu bahagia, masih diberi nikmat sehat itu bahagia, ketika kita masih diberi nikmat iman itu bahagia, ketika kita masih diberi nikmat keluarga itu bahagia, masih memiliki kedua orang tua dan bisa menatap senyum dan kebahagiaan mereka itu bahagia, ketika bisa sarapan, makan siang, makan malam, berlibur, menghabiskan waktu bersama keluarga itu bahagia, ketika kita bisa memberi kebahagiaan untuk orang lain itu bahagia, ketika kita bisa bangun pagi itu bahagia, ketika kita bisa menunaikan kewajiban kita seperti shalat lima waktu dan ibadah lainnya itu bahagia, ketika kita bisa memiliki banyak teman dan sahabat itu bahagia, ketika kita berkumpul dan bersilaturahim dengan teman itu bahagia, bisa menjenguk dan memberi semangat pada teman, sahabat, saudara, tetangga yang sedang sakit itu bahagia, bisa membaca buku dan memperoleh ilmu ilmu baru itu bahagia, bisa mendapat banyak kawan baru (seperti sesama kompasianer ini) dan ilmu ilmu baru dari mereka seperti di kompasiana ini itu bahagia, bisa membagikan sedikit ilmu yang kita tahu itu bahagia, lalu misal ketika di dalam Transportasi umum ketika kita bisa memberi tempat duduk untuk orang yang lanjut usia, wanita hamil, atau siapapun yang diprioritaskan untuk duduk itu bahagia, ketika di jalan berpapasan dengan kawan lama dan saling menyapa itu bahagia, ketika kita bisa mentraktir teman-teman kita makan itu bahagia, ketika kita bisa menjadi perantara kebaikan bagi orang lain itu bahagia, ketika kita bisa memberi solusi untuk masalah orang lain itu bahagia, ketika bisa duduk bersama dan berbagi ilmu dengan anak-anak jalanan itu bahagia, ketika kita bisa mengantarkan teman yang sedang sakit yang jauh dari keluarganya itu bahagia, dan sederet hal hal lainnya yang tanpa kita sadari bahwa itu adalah sebuah kebahagiaan.

Jadi Bahagia itu milik siapa ? Bahagia itu adalah milik hati kita sendiri, bahagia adalah anugrah dariNya, bahagia itu ada dalam diri kita sendiri, bahagia itu adalah hati kita sendiri yang ciptakan, hati kita sendiri yang menanamkannya dan menetapkan bahwa kita layak bahagia, bukan dengan fokus pada kekurangan kita dan membanding bandingkannya dengan orang lain.

Jadi Apakah hari ini, menit ini detik ini, kita sudah merasa bahagia ? Mari kita tengok kedalam diri kita masing-masing , jawabannya terletak di hati kita masing masing :)






Baca juga :

No comments

Post a Comment

Punya saran, kritik, atau pertanyaan seputar topik pembahasan. hyu isi koment dibawah.

to Top